Sanskara Hukum dan HAM
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh
<p align="justify">Sanskara Hukum dan HAM dengan nomor registrasi <a href="https://portal.issn.org/resource/ISSN/2964-8912">ISSN 2964-8912 (Online)</a> dan <a href="https://portal.issn.org/resource/ISSN/2985-7775">ISSN 2985-7775 (Cetak)</a> adalah jurnal akademik yang memfokuskan pada topik-topik terkait hukum dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dan Asia Tenggara. Jurnal ini diterbitkan tiga kali setahun (April-Juli, Agustus-November, dan Desember-Maret) secara teratur oleh <a href="https://eastasouth-institute.com/jurnal/">Eastasouth Institute</a>. Jurnal ini mempublikasikan artikel-artikel berkualitas tinggi yang berisi analisis kritis, pemikiran inovatif, dan hasil penelitian terbaru dalam bidang hukum dan HAM.</p> <p align="justify">Sanskara Hukum dan HAM mempunyai cakupan yang luas, meliputi topik-topik seperti hukum konstitusi, hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi negara, hukum lingkungan, hukum internasional, hukum bisnis, hak asasi manusia, perlindungan hak asasi manusia, keadilan sosial, teori dan filosofi hukum, dan metodologi penelitian hukum. Jurnal ini menerima artikel dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.</p> <p align="justify">Tujuan dari Sanskara Hukum dan HAM adalah untuk memfasilitasi diskusi ilmiah dan mendorong pengembangan pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang hukum dan HAM di Indonesia dan Asia Tenggara. Jurnal ini berkomitmen untuk mempublikasikan artikel-artikel yang inovatif, orisinal, dan berkontribusi pada pengembangan teori dan praktik hukum dan HAM secara global.</p> <p align="justify">Sanskara Hukum dan HAM memiliki kebijakan etika publikasi yang ketat, serta memastikan bahwa setiap artikel yang diterbitkan melalui jurnal ini telah melalui proses review yang obyektif dan terhadap standar etika publikasi yang tinggi. Jurnal ini juga mempunyai kebijakan open access, sehingga artikel-artikel yang dipublikasikan dapat diakses secara gratis oleh masyarakat umum dan masyarakat akademik secara global.</p> <p> </p> <h2 align="center">Disclaimer</h2> <p align="justify">Artikel yang terdapat pada Sanskara Hukum dan HAM mencerminkan opini penulis masing-masing dan tidak merepresentasikan pandangan resmi dari jurnal, penyunting, atau institusi di mana penulis berafiliasi. Segala konten artikel adalah tanggung jawab penulis dan tidak dapat diatribusikan kepada jurnal, penyunting, atau institusi di mana penulis berafiliasi. Jurnal, penyunting, atau institusi di mana penulis berafiliasi tidak bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kekurangan, atau kekeliruan dalam konten artikel. Jurnal, penyunting, atau institusi di mana penulis berafiliasi tidak bertanggung jawab atas setiap konsekuensi yang mungkin timbul dari penggunaan atau interpretasi konten artikel tersebut. Selain itu, penulis bertanggung jawab untuk memastikan bahwa artikel tersebut memenuhi standar etika penelitian yang berlaku.</p>Eastasouth Instituteen-USSanskara Hukum dan HAM2985-7775Tinjauan Hukum terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Kemudahan Berusaha bagi UMKM
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/719
<p>Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 merupakan reformasi hukum penting di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kemudahan berbisnis, khususnya bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Salah satu inovasi terpenting dalam peraturan ini adalah penghapusan persyaratan modal dasar minimum untuk perseroan terbatas, sehingga pendiri dapat menentukan jumlah modal dasar berdasarkan kesepakatan bersama. Studi ini menggunakan analisis yuridis normatif untuk mengkaji substansi hukum, tujuan, dan implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 dalam kerangka hukum korporasi Indonesia dan kebijakan pengembangan UMKM. Dengan menggunakan pendekatan hukum dan konseptual, penelitian ini menganalisis konsistensi peraturan dengan undang-undang tingkat atas, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja, serta kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip hukum dasar seperti kepastian hukum, keadilan, dan efisiensi ekonomi. Temuan menunjukkan bahwa peraturan ini memainkan peran strategis dalam menurunkan hambatan hukum dan finansial dalam formalisasi usaha, sehingga meningkatkan kemudahan berbisnis bagi UMKM dan mendorong aktivitas kewirausahaan. Namun, studi ini juga mengidentifikasi risiko hukum potensial, terutama terkait perlindungan kreditur dan tata kelola korporasi akibat ketidakhadiran persyaratan modal minimum. Makalah ini menyimpulkan bahwa meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 secara positif berkontribusi pada pemberdayaan UMKM dan penyederhanaan regulasi, implementasi efektifnya memerlukan jaminan hukum tambahan untuk memastikan akuntabilitas, melindungi pemangku kepentingan, dan menjaga keseimbangan antara fleksibilitas bisnis dan kepastian hukum.</p>Dwi SalehaDjuhrijjani DjuhrijjaniWahyul FurqonGamal Abdul NasirIin Inayah
Copyright (c) 2025 Dwi Saleha, Djuhrijjani Djuhrijjani, Wahyul Furqon, Gamal Abdul Nasir, Iin Inayah
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-12-312025-12-3140212713310.58812/shh.v4i02.719Tinjauan Yuridis terhadap Penggunaan Artificial Intelligence dalam Proses Penegakan Hukum
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/718
<p>Perkembangan pesat kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah secara signifikan mentransformasi praktik penegakan hukum modern, termasuk pengawasan, identifikasi biometrik, pemolisian prediktif, dan investigasi forensik digital. Di Indonesia, penerapan AI dalam kepolisian mencerminkan upaya negara untuk meningkatkan efisiensi dan daya tanggap dalam menghadapi bentuk-bentuk kejahatan yang semakin kompleks. Namun, pemanfaatan AI juga menimbulkan persoalan hukum dan hak asasi manusia yang serius, khususnya terkait privasi, due process (proses hukum yang adil), kesetaraan di hadapan hukum, transparansi, serta akuntabilitas. Penelitian ini bertujuan menelaah kerangka hukum yang mengatur penggunaan kecerdasan buatan dalam penegakan hukum di Indonesia melalui analisis yuridis normatif. Metode penelitian menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, konseptual, komparatif, dan hak asasi manusia, dengan bahan hukum kepustakaan sebagai sumber data utama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki kerangka hukum yang komprehensif dan eksplisit yang secara khusus mengatur penggunaan AI dalam penegakan hukum. Regulasi yang ada masih bersifat terfragmentasi dan sektoral, sehingga memunculkan celah pengaturan, ketidakpastian hukum, dan lemahnya mekanisme akuntabilitas. Studi ini menegaskan urgensi pembentukan tata kelola AI yang komprehensif, berbasis hak, dan akuntabel dalam penegakan hukum di Indonesia agar inovasi teknologi tetap selaras dengan prinsip negara hukum dan demokrasi konstitusional.</p>Rizana RizanaAndrew Shandy Utama
Copyright (c) 2025 Rizana Rizana, Andrew Shandy Utama
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-12-312025-12-3140213414510.58812/shh.v4i02.718Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU‑XIV/2016 tentang Hak Pendidikan Anak di Indonesia
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/717
<p>Penelitian ini menyajikan analisis hukum normatif terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 mengenai hak anak atas pendidikan di Indonesia. Karena pendidikan merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi, putusan ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap interpretasi dan penegakan kewajiban negara dalam memastikan akses yang adil dan tidak diskriminatif terhadap pendidikan. Menggunakan pendekatan hukum, konseptual, dan berbasis kasus, penelitian ini menganalisis alasan hukum Mahkamah dan mengevaluasi kesesuaiannya dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Temuan menunjukkan bahwa putusan tersebut memperkuat perlindungan konstitusional dengan menegaskan anak-anak sebagai pemegang hak, menekankan kewajiban positif negara, dan memperkuat prinsip non-diskriminasi. Namun, meskipun terdapat kemajuan normatif, tantangan tetap ada dalam implementasi akibat ketidakmerataan regional, mekanisme akuntabilitas yang lemah, dan harmonisasi kerangka hukum yang tidak konsisten. Studi ini menyimpulkan bahwa meskipun putusan tersebut berkontribusi signifikan terhadap pengembangan yurisprudensi hak pendidikan, diperlukan penyempurnaan legislatif dan reformasi administratif lebih lanjut untuk memastikan realisasi penuh hak anak atas pendidikan di Indonesia.</p>Jaka PrimaHasmia Wahyunisa
Copyright (c) 2025 Jaka Prima, Hasmia Wahyunisa
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-12-312025-12-3140214615410.58812/shh.v4i02.717Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tentang Eksekusi Jaminan Fidusia dan Perlindungan Hak Debitur
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/716
<p>Sistem jaminan fidusia di Indonesia telah lama memberikan wewenang eksekusi yang kuat kepada kreditur, memungkinkan eksekusi langsung atas jaminan jika debitur gagal bayar tanpa intervensi peradilan sebelumnya. Meskipun mekanisme ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan kepastian hukum dalam transaksi kredit, penerapan praktisnya seringkali menghasilkan praktik penegakan hukum yang sepihak dan paksa, yang melemahkan perlindungan hak debitur. Kondisi ini secara fundamental diatasi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, yang menafsirkan ulang sifat eksekutorial jaminan fidusia berdasarkan prinsip-prinsip konstitusional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis landasan hukum dan implikasi normatif putusan tersebut terkait pelaksanaan jaminan fidusia dan perlindungan hak debitur di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang menggabungkan pendekatan yuridis, yudisial, dan konseptual, penelitian ini mengkaji peraturan perundang-undangan, ketentuan konstitusional, dan pertimbangan yudisial yang relevan. Temuan menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi memperkenalkan interpretasi konstitusional bersyarat, yang mensyaratkan pengakuan sukarela atas wanprestasi oleh debitur atau putusan pengadilan sebagai prasyarat untuk eksekusi. Reinterpretasi ini memperkuat proses hukum yang adil, kepastian hukum, dan perlindungan konstitusional atas hak milik, sambil mempertahankan peran fungsional jaminan fidusia. Studi ini menyimpulkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 mewakili perkembangan konstitusional yang signifikan dalam hukum privat Indonesia, yang memerlukan harmonisasi regulasi dan adaptasi institusional untuk memastikan perlindungan yang seimbang bagi kepentingan debitur dan kreditur.</p>Baren Sipayung
Copyright (c) 2025 Baren Sipayung
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-12-312025-12-3140215516310.58812/shh.v4i02.716Tinjauan Hukum terhadap Implementasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Layanan Finansial Digital
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/715
<p>Pertumbuhan pesat layanan keuangan digital di Indonesia telah mempercepat pemrosesan data pribadi, menimbulkan kekhawatiran hukum yang signifikan terkait perlindungan privasi dan keamanan data. Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi sebagai kerangka hukum komprehensif yang bertujuan melindungi data pribadi dan memperkuat hak-hak subjek data di era digital. Penelitian ini menganalisis implementasi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 dalam konteks layanan keuangan digital di Indonesia menggunakan pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini menganalisis ketentuan undang-undang, prinsip hukum, dan tata kelola institusional yang mengatur perlindungan data pribadi, serta interaksinya dengan regulasi sektoral di industri layanan keuangan. Temuan menunjukkan bahwa Undang-Undang PDP memberikan landasan normatif yang kuat dengan mengakui hak subjek data, menetapkan kewajiban bagi pengendali dan pemroses data, serta menetapkan mekanisme penegakan hukum melalui sanksi administratif, perdata, dan pidana. Namun, implementasinya dalam layanan keuangan digital menghadapi beberapa tantangan, termasuk fragmentasi regulasi, tumpang tindih otoritas pengawas, kesiapan institusional, dan kapasitas kepatuhan di kalangan penyedia layanan. Studi ini menyimpulkan bahwa efektivitas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 bergantung pada harmonisasi regulasi, koordinasi kelembagaan yang jelas, dan pengembangan peraturan pelaksana untuk memastikan kepastian hukum dan perlindungan data pribadi yang efektif dalam ekosistem keuangan digital Indonesia.</p>Ade Pratiwi SusantyFenny Bintarawati
Copyright (c) 2025 Ade Pratiwi Susanty, Fenny Bintarawati
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-12-312025-12-3140216417210.58812/shh.v4i02.715Analisis Yuridis terhadap Penggunaan Chatbot Berbasis AI dalam Layanan Hukum dan Potensinya terhadap Pelanggaran Privasi Klien
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/714
<p>Peningkatan penggunaan chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI) dalam layanan hukum telah mengubah cara penyampaian bantuan hukum dengan meningkatkan efisiensi, aksesibilitas, dan efisiensi biaya. Meskipun demikian, penerapan chatbot AI menimbulkan masalah hukum serius terkait perlindungan privasi dan kerahasiaan klien, yang merupakan prinsip dasar praktik hukum. Studi ini menerapkan analisis hukum normatif untuk mengkaji implikasi hukum penggunaan chatbot berbasis AI dalam layanan hukum, dengan fokus khusus pada potensi pelanggaran privasi klien. Dengan menganalisis undang-undang perlindungan data, kewajiban kerahasiaan profesional, dan doktrin etika hukum, studi ini mengevaluasi kecukupan kerangka hukum yang ada dalam menangani risiko yang terkait dengan pemrosesan data otomatis, penanganan data oleh pihak ketiga, dan ketidakjelasan algoritma. Temuan menunjukkan bahwa meskipun regulasi saat ini menyediakan perlindungan umum untuk data pribadi dan kerahasiaan, regulasi tersebut tidak cukup untuk mengatasi karakteristik unik alat hukum berbasis AI. Studi ini menyoroti celah regulasi terkait akuntabilitas, persetujuan yang terinformasi, dan transparansi, serta menekankan kebutuhan akan standar hukum yang lebih spesifik. Studi ini menyimpulkan bahwa panduan regulasi yang lebih jelas, pengawasan profesional yang diperkuat, dan integrasi prinsip privasi sejak desain (privacy-by-design) sangat penting untuk memastikan bahwa inovasi teknologi dalam layanan hukum tidak merusak privasi dan kepercayaan klien.</p>Rai Iqsandri
Copyright (c) 2025 Rai Iqsandri
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-12-312025-12-3140217318010.58812/shh.v4i02.714Kekuatan Pembuktian Rekaman Elektronik sebagai Kesaksian dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/698
<p>Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan signifikan dalam sistem pembuktian hukum pidana di Indonesia. Salah satu isu yang mencuat adalah penggunaan rekaman elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan, sebagaimana terlihat dalam perkara Nikita Mirzani vs dr. Reza Gladys tahun 2025. Dalam kasus ini, pihak terdakwa berupaya menampilkan rekaman suara sebagai bukti pendukung, namun ditolak oleh majelis hakim dengan alasan belum terpenuhinya syarat formil dan verifikasi keaslian bukti. Penolakan tersebut menimbulkan perdebatan yuridis mengenai batas kewenangan hakim dalam menilai kelayakan alat bukti elektronik serta sejauh mana prinsip fair trial dan hak pembelaan terdakwa dijunjung dalam proses peradilan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Data diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan yang relevan, putusan pengadilan, serta literatur hukum terkait pembuktian elektronik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara yuridis, sikap hakim yang menolak pemutaran rekaman dapat dibenarkan dari sisi prosedural untuk menjaga tertib persidangan dan memastikan keabsahan bukti. Namun, dari perspektif keadilan substantif, keputusan tersebut menimbulkan dilema karena berpotensi membatasi hak terdakwa dalam pembelaan diri. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keseimbangan antara prinsip due process of law dan fair trial harus menjadi dasar dalam menilai kekuatan pembuktian rekaman elektronik. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia perlu terus beradaptasi terhadap perkembangan teknologi agar tetap mampu menjamin keadilan, kepastian hukum, dan perlindungan hak asasi manusia di era digital.</p>Abu Thalhah Al AnshariShintia JanuaritaMaheswari Queena DewaniJason Marvin WijayaWilhelmina Setia AtmadjaYuni Priskila Ginting
Copyright (c) 2025 Abu Thalhah Al Anshari, Shintia Januarita, Maheswari Queena Dewani, Jason Marvin Wijaya, Wilhelmina Setia Atmadja, Yuni Priskila Ginting
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-12-312025-12-3140218119110.58812/shh.v4i02.698Kedudukan Alat Bukti dalam Sengketa Hubungan Industrial
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/697
<p>Sistem pembuktian dalam sengketa ketenagakerjaan memiliki peranan penting dalam mewujudkan keadilan dan keseimbangan antara pekerja dan pengusaha. Pembuktian menjadi instrumen utama bagi hakim dalam menentukan kebenaran suatu peristiwa hukum, sehingga keberadaan alat bukti yang sah, valid, dan relevan menjadi kunci dalam proses peradilan hubungan industrial. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hukum pembuktian diterapkan dalam sengketa ketenagakerjaan?, dan utnuk mengetahui bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan sistem pembuktian yang menjamin keadilan bagi pekerja maupun pengusaha. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Data diperoleh melalui studi kepustakaan terhadap literatur hukum, peraturan perundang-undangan, serta putusan pengadilan yang relevan dengan pembuktian dalam sengketa ketenagakerjaan. Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menggambarkan penerapan hukum pembuktian dalam praktik peradilan hubungan industrial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pembuktian dalam sengketa ketenagakerjaan masih menghadapi kendala, terutama terkait pengakuan bukti elektronik dan dokumen yang belum dilegalisasi. Untuk mewujudkan keadilan, diperlukan pembaruan regulasi mengenai pembuktian elektronik, peningkatan kompetensi hakim dalam menilai bukti digital, serta penerapan sistem E-Court guna mendukung transparansi dan efisiensi peradilan. Selain itu, penerapan prinsip equality of arms sangat penting agar pekerja dan pengusaha memiliki kesempatan yang seimbang dalam proses pembuktian. Dengan demikian, sistem pembuktian yang ideal diharapkan mampu menegakkan keadilan substantif dan menciptakan hubungan industrial yang harmonis.</p>Abu Thalhah Al AnshariShintia JanuaritaMaheswari Queena DewaniJason Marvin WijayaWilhelmina Setia Atmadja
Copyright (c) 2025 Abu Thalhah Al Anshari, Shintia Januarita, Maheswari Queena Dewani, Jason Marvin Wijaya, Wilhelmina Setia Atmadja
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-12-312025-12-3140219220110.58812/shh.v4i02.697Implementasi Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Kapal dan Pemilik Muatan Dalam Peristiwa General Average (Studi Kasus PT. BGE)
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/669
<p>Perdagangan internasional yang bertumpu pada transportasi laut menghadapi berbagai risiko yang melahirkan konsep hukum krusial, yaitu general average (kerugian umum). Tingginya angka kecelakaan kapal di Indonesia, sebagaimana tercatat oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dari tahun 2021-2023, serta besarnya kerugian finansial yang dapat mencapai puluhan miliar rupiah per insiden, menyoroti urgensi pemahaman mendalam mengenai pembagian tanggung jawab kerugian. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) telah mengatur prinsip ini, implementasi dan interpretasinya dalam melindungi hak pemilik kapal dan pemilik muatan seringkali bersifat kompleks. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi perlindungan hukum bagi pemilik kapal dan pemilik muatan dalam peristiwa general average berdasarkan ketentuan KUHD. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan studi kasus, penelitian ini mengkaji insiden terbaliknya tongkang BG. Taurus 705 yang memuat batubara milik PT. BGE pada tahun 2023 akibat gelombang tinggi. Kasus ini menjadi platform faktual untuk menguji bagaimana prinsip pengorbanan dan biaya penyelamatan bersama didistribusikan secara proporsional antara para pihak, serta untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk perlindungan hukum yang tersedia bagi mereka sesuai dengan Bab X KUHD. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa perlindungan hukum KUHD untuk general average mewajibkan kontribusi bersama. Namun, pada insiden PT. BGE, prinsip ini gagal diterapkan, menyebabkan pemilik kapal yang diwakili oleh pihak asuransi menanggung kerugian lebih besar karena nilai kapalnya jauh lebih tinggi dari nilai muatan. Faktor utama yang melatarbelakangi insiden kecelakaan PT. BGE tidak diklasifikasikan sebagai general average adalah karena adanya faktor non-hukum berupa budaya bisnis dan ekonomi, sebuah gagasan baru muncul dari temuan ini yaitu adanya pertentangan antara positivisme hukum maritim yang menuntut penegakan KUHD secara kaku, dengan pragmatisme komersial para pihak.</p>Amir Hamzah
Copyright (c) 2025 Amir Hamzah
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-12-312025-12-3140220222110.58812/shh.v4i02.669