Sanskara Hukum dan HAM
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh
<p align="justify">Sanskara Hukum dan HAM dengan nomor registrasi <a href="https://portal.issn.org/resource/ISSN/2964-8912">ISSN 2964-8912 (Online)</a> dan <a href="https://portal.issn.org/resource/ISSN/2985-7775">ISSN 2985-7775 (Cetak)</a> adalah jurnal akademik yang memfokuskan pada topik-topik terkait hukum dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dan Asia Tenggara. Jurnal ini diterbitkan tiga kali setahun (April-Juli, Agustus-November, dan Desember-Maret) secara teratur oleh <a href="https://eastasouth-institute.com/jurnal/">Eastasouth Institute</a>. Jurnal ini mempublikasikan artikel-artikel berkualitas tinggi yang berisi analisis kritis, pemikiran inovatif, dan hasil penelitian terbaru dalam bidang hukum dan HAM.</p> <p align="justify">Sanskara Hukum dan HAM mempunyai cakupan yang luas, meliputi topik-topik seperti hukum konstitusi, hukum pidana, hukum perdata, hukum administrasi negara, hukum lingkungan, hukum internasional, hukum bisnis, hak asasi manusia, perlindungan hak asasi manusia, keadilan sosial, teori dan filosofi hukum, dan metodologi penelitian hukum. Jurnal ini menerima artikel dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.</p> <p align="justify">Tujuan dari Sanskara Hukum dan HAM adalah untuk memfasilitasi diskusi ilmiah dan mendorong pengembangan pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik tentang hukum dan HAM di Indonesia dan Asia Tenggara. Jurnal ini berkomitmen untuk mempublikasikan artikel-artikel yang inovatif, orisinal, dan berkontribusi pada pengembangan teori dan praktik hukum dan HAM secara global.</p> <p align="justify">Sanskara Hukum dan HAM memiliki kebijakan etika publikasi yang ketat, serta memastikan bahwa setiap artikel yang diterbitkan melalui jurnal ini telah melalui proses review yang obyektif dan terhadap standar etika publikasi yang tinggi. Jurnal ini juga mempunyai kebijakan open access, sehingga artikel-artikel yang dipublikasikan dapat diakses secara gratis oleh masyarakat umum dan masyarakat akademik secara global.</p> <p> </p> <h2 align="center">Disclaimer</h2> <p align="justify">Artikel yang terdapat pada Sanskara Hukum dan HAM mencerminkan opini penulis masing-masing dan tidak merepresentasikan pandangan resmi dari jurnal, penyunting, atau institusi di mana penulis berafiliasi. Segala konten artikel adalah tanggung jawab penulis dan tidak dapat diatribusikan kepada jurnal, penyunting, atau institusi di mana penulis berafiliasi. Jurnal, penyunting, atau institusi di mana penulis berafiliasi tidak bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kekurangan, atau kekeliruan dalam konten artikel. Jurnal, penyunting, atau institusi di mana penulis berafiliasi tidak bertanggung jawab atas setiap konsekuensi yang mungkin timbul dari penggunaan atau interpretasi konten artikel tersebut. Selain itu, penulis bertanggung jawab untuk memastikan bahwa artikel tersebut memenuhi standar etika penelitian yang berlaku.</p>Eastasouth Instituteen-USSanskara Hukum dan HAM2985-7775Perbandingan Sistem Hukum Perdata dan Common Law dalam Perlindungan Data Pribadi di Indonesia
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/602
<p>Studi ini menyajikan analisis hukum komparatif antara sistem civil law dan common law dalam konteks perlindungan data pribadi, dengan fokus pada kerangka hukum Indonesia yang terus berkembang. Sebagai negara dengan sistem civil law, pendekatan Indonesia dicirikan oleh undang-undang yang terkodifikasi, khususnya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27 Tahun 2022), yang memberikan regulasi dan kepastian hukum yang komprehensif. Sebaliknya, yurisdiksi common law seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia menggabungkan ketentuan undang-undang dengan preseden yudisial, sehingga memungkinkan fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi terhadap tantangan privasi yang muncul. Dengan menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dan komparatif, makalah ini mengkaji sumber hukum, mekanisme penegakan hukum, peran peradilan, dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan teknologi di kedua sistem tersebut. Temuan menunjukkan bahwa meskipun model hukum perdata Indonesia menjamin kejelasan dan keseragaman, model ini kurang responsif terhadap perkembangan yang tidak terduga, sedangkan sistem common law memberikan kemampuan beradaptasi namun dapat menciptakan ketidakpastian. Studi ini menyimpulkan bahwa Indonesia dapat mengambil manfaat dari mengintegrasikan elemen-elemen common law yang selektif, seperti undang-undang berbasis prinsip dan interpretasi yudisial yang diperluas, untuk meningkatkan rezim perlindungan data pribadinya di era digital.</p>Loso JudijantoAndri TriyantoroIin Inayah
Copyright (c) 2025 Loso Judijanto, Andri Triyantoro
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140116117010.58812/shh.v4i01.602Implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 terhadap Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (Studi Kabupaten Sragen)
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/599
<p>Penelitian ini mengkaji implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) di Kabupaten Sragen melalui peran Dewan Pimpinan Wilayah Himpunan Advokat Nahdlatul Ulama (DPW HIMANU) Jawa Tengah. Sebagai salah satu daerah kantong migran terbesar, Sragen menghadapi beragam persoalan, mulai dari penipuan agen ilegal, pekerja non-prosedural, hingga kontrak kerja yang merugikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DPW HIMANU Jateng berperan penting tidak hanya dalam pendampingan litigasi, tetapi juga dalam edukasi hukum, mediasi berbasis komunitas, hingga penyuluhan hukum yang menyasar desa-desa migran. Implementasi UU PPMI melalui HIMANU terbukti mampu mengubah pekerja migran dari subjek pasif menjadi aktor kritis yang memperjuangkan haknya, sehingga perlindungan hukum bersifat substantif dan inklusif. Namun, tantangan seperti keterbatasan sumber daya, lemahnya koordinasi antarinstansi, dan resistensi pihak tertentu masih menjadi hambatan. Oleh karena itu, dukungan lintas sektor sangat diperlukan untuk memperkuat efektivitas UU PPMI di tingkat daerah.</p>Estri PuspaningrumAris Prio Agus Santoso
Copyright (c) 2025 Estri Puspaningrum, Aris Prio Agus Santoso
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140117117710.58812/shh.v4i01.599Pengembangan Model Teori Hukum “PERKUTUT”: Menuju Paradigma Hukum Berbasis Keseimbangan Etis dan Transedensi Sosial
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/598
<p>Teori hukum konvensional yang masih dominan hingga kini, terutama positivisme dan legalisme normative yang terbukti belum mampu menjawab kompleksitas realitas sosial, sehingga melahirkan keterputusan antara hukum sebagai norma tertulis dengan dinamika kehidupan masyarakat yang sarat krisis etika, budaya, dan spiritualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model teori hukum baru bernama “PERKUTUT” yang menawarkan paradigma hukum berbasis keseimbangan etis dan transendensi sosial sebagai respons atas keterbatasan teori hukum modern, serta sebagai upaya menjembatani antara struktur normatif hukum dengan realitas sosial yang kompleks dan dinamis. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan analisis preskriptif-kualitatif untuk merumuskan model teori hukum “PERKUTUT” secara konseptual dan filosofis, sebagai respons terhadap keterbatasan teori hukum konvensional dalam mengintegrasikan nilai etika, spiritualitas, dan transformasi sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan model teori hukum “PERKUTUT” merupakan langkah konseptual yang mendesak untuk mereformulasi teori hukum modern yang masih terjebak dalam kerangka positivistik dan kurang peka terhadap nilai kemanusiaan; teori ini mengintegrasikan dimensi praksis, etika, rasionalitas, kulturalitas, universalitas, transendensi, urgensi sosial, dan transformasi emansipatoris guna membangun hukum yang lebih inklusif dan membumi, sehingga disarankan agar teori ini diuji lebih lanjut dalam praktik kebijakan hukum serta dikembangkan melalui dialog lintas-disiplin dan pendekatan interkultural.</p>Aris Prio Agus SantosoTata MahyuviDhyan Andika IrawanPuput Mulyono
Copyright (c) 2025 Aris Prio Agus Santoso, Tata Mahyuvi, Dhyan Andika Irawan, Puput Mulyono
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140117818610.58812/shh.v4i01.598Proses Pendampingan Hukum oleh YLBH Laskar Sabilillah Indonesia terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kabupaten Ungaran
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/597
<p>This study examines the legal assistance process provided by the Indonesian Legal Aid Foundation (YLBH) Laskar Sabilillah to victims of Domestic Violence (KDRT) in Ungaran Regency, as well as the challenges and strategies involved in its implementation. Using field observation, in-depth interviews, and document analysis, the research found that legal assistance is delivered comprehensively through both litigation and non-litigation approaches, including free legal consultations, risk assessments, psychosocial support, legal document preparation, and victims’ economic empowerment. The main challenges identified include victims’ low legal awareness, emotional attachment and economic dependence on perpetrators, severe trauma, lack of supporting documents, and structural barriers such as poor inter-agency coordination and limited institutional resources. To address these challenges, YLBH employs community-based strategies, strengthens advocacy networks, conducts legal education, and engages volunteer psychologists and community leaders. The findings indicate that YLBH’s role extends beyond formal legal representation, functioning as a social change agent that fills the state’s protection gap for vulnerable groups, in line with the principles of substantive justice, non-discrimination, and social inclusion. This study underscores the importance of a multidisciplinary and gender-sensitive approach in addressing domestic violence cases and highlights the need for synergy between the state, civil society, and local actors to achieve effective legal protection.</p>Candra Wahyu IrawanAris Prio Agus Santoso
Copyright (c) 2025 Candra Wahyu Irawan, Aris Prio Agus Santoso
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140118719610.58812/shh.v4i01.597Legal Enforcement and the Recovery of State Financial Losses in Corruption Crimes: A Normative and Institutional Review
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/589
<p><em>Corruption is a systemic crime that demands comprehensive legal reform efforts. This study analyzes the impact and obstacles of recovering state financial losses due to corruption within the framework of legal enforcement based on audit findings from the Indonesian Supreme Audit Agency (BPK). Using a normative juridical method, this research focuses on secondary data derived from laws, legal principles, and related literature. The findings indicate that the recovery of state financial losses, although important, does not eliminate the criminal nature of corruption under Indonesian criminal law. Offenders are still subject to criminal proceedings regardless of restitution. However, the process faces several systemic challenges, including regulatory inconsistencies, bureaucratic complexity in handling cases involving state officials, and the lack of clear operational mechanisms among law enforcement institutions such as the National Police, Attorney General’s Office, BPK, and the Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK). These institutional and normative obstacles hinder the effectiveness of corruption law enforcement and asset recovery efforts. The study recommends strengthening inter-agency coordination, harmonizing legal provisions, and simplifying procedural requirements to ensure effective and efficient enforcement of anti-corruption measures. Ultimately, a more integrated legal system is essential to uphold justice and safeguard public assets from corrupt practices.</em></p>Ditha LestariMetha Dian Puspa Nasawida
Copyright (c) 2025 Ditha Lestari, Metha Dian Puspa Nasawida
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140119720510.58812/shh.v4i01.589Tinjauan Hukum Islam terhadap Penerapan Qanun Jinayat Sebagai Instrumen Pencegahan Kriminalitas di Aceh
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/572
<p>Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan Qanun Jinayat di Aceh sebagai instrumen pencegahan kriminalitas dalam perspektif hukum Islam. Qanun Jinayat merupakan peraturan daerah yang mengatur tindak pidana berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam dan menjadi salah satu ciri khas otonomi kekhususan Aceh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian normatif-yuridis, yaitu menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen resmi, serta pendapat para ahli. Data dianalisis secara deskriptif-kritis untuk melihat efektivitas qanun ini dalam konteks penegakan hukum serta kesesuaiannya dengan prinsip <em>maqā</em><em>ṣ</em><em>id al-syarī‘ah</em>. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara filosofis dan yuridis, Qanun Jinayat memiliki legitimasi kuat sebagai produk hukum yang mengintegrasikan nilai keislaman dengan sistem hukum nasional. Penerapannya terbukti memberi efek jera dalam beberapa jenis kejahatan moral, namun masih menghadapi kendala dalam hal implementasi, sosialisasi, dan penerimaan masyarakat. Dalam pandangan hukum Islam, Qanun Jinayat merupakan wujud <em>siyasah syar’iyyah</em> yang sah, selama dijalankan secara adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip keadilan substantif. Oleh karena itu, penguatan regulasi dan sistem penegakan hukum sangat diperlukan agar Qanun Jinayat dapat berfungsi optimal dalam membentuk tatanan masyarakat yang religius dan tertib.</p>Salwa Khairina AzzahraNabila Hilmy KhairunnisaAmanda Putri FajrinNadiatul MaghfirahLaila Rizqillah
Copyright (c) 2025 Salwa Khairina Azzahra, Nabila Hilmy Khairunnisa, Amanda Putri Fajrin, Nadiatul Maghfirah, Laila Rizqillah
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140120621210.58812/shh.v4i01.572Homogenitas Pilihan: Studi Kasus Kolonialisme dan Operasi Koteka 1970
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/568
<p>This study examines the cultural and human rights implications of the forced displacement of traditional Papuan attire, *koteka*, through the Indonesian government's “Operasi Koteka” in 1970. Employing a qualitative case study approach and utilizing Georg Simmel’s concept of the "tragedy of culture," this paper argues that the shift from indigenous to Western clothing reflects more than a change in material appearance—it marks a loss of identity, spiritual connection, and cultural autonomy. The *koteka*, traditionally worn by men of several Papuan tribes, is not merely a garment, but a cultural symbol deeply rooted in ritual, social structure, and ecological relationships. The state-led intervention that sought to replace the *koteka* under the guise of modernization and public health constitutes a violation of indigenous cultural rights, as enshrined in Indonesia’s Human Rights Law No. 39 of 1999, Article 6(2). This article contends that such actions represent symbolic violence and a denial of the right to cultural self-determination. It calls for participatory, rights-based development policies, and proposes cultural revitalization and inter-cultural dialogue as essential steps in restoring Papuan dignity, identity, and agency in the postcolonial Indonesian state.</p>Ignatius Aji Dwiatmaja
Copyright (c) 2025 Ignatius Aji Dwiatmaja
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140121322610.58812/shh.v4i01.568Legal Analysis of PT Pertamina Corruption Case and Its Impact on SOE Governance
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/563
<p>The major corruption case involving PT Pertamina Patra Niaga reflects a serious failure in the implementation of State-Owned Enterprises (SOEs) governance principles. Practices such as fuel adulteration, domestic crude oil exports, and opaque imports through brokers indicate weak internal and external oversight systems. This study aims to analyze the legal impact of the case on the implementation of SOE governance principles. The research method employed is normative legal research with a statutory approach. The findings reveal that although regulations on corruption eradication in SOEs exist, their implementation remains weak. Recommendations include strengthening internal oversight systems, implementing technology in financial monitoring, and enhancing collaboration between SOEs and law enforcement agencies.</p>Hilman NurSalsabila Hadi AuliaCamilliya Fakhriyah GarnitaFina AsrianiMuhamad Fahri Mawardi
Copyright (c) 2025 Hilman Nur, Salsabila Hadi Aulia, Camilliya Fakhriyah Garnita, Fina Asriani, Muhamad Fahri Mawardi
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140122723410.58812/shh.v4i01.563Media Pembelajaran Sejarah Berbasis Sekolah Ramah HAM
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/550
<p>Artikel ini mengkaji pengembangan media pembelajaran sejarah yang berintegrasi dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konteks sekolah ramah HAM. Kajian dilakukan melalui studi literatur dengan menelaah berbagai sumber pustaka terkini sebagai dasar untuk merancang model pembelajaran yang mampu meningkatkan kesadaran sejarah serta pemahaman tentang HAM di kalangan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi materi sejarah dengan nilai-nilai HAM dapat mendorong terbentuknya karakter yang demokratis dan toleran. Rekomendasi praktis pun disampaikan untuk pengembangan media pembelajaran yang lebih kontekstual dan inovatif, sehingga dapat diterapkan secara efektif dalam lingkungan pendidikan.</p>Ahmad RuslanHari NarediAbdul Japar
Copyright (c) 2025 Ahmad Ruslan, Hari Naredi, Abdul Japar
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140123524010.58812/shh.v4i01.550Protection of Indigenous Peoples' Customary Rights in National Strategic Projects (PSN): A Study The Case of the Development of the Capital City of the Archipelago (IKN)
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/540
<p>The development of the Nusantara Capital City (IKN) in East Kalimantan is designated as a<br>National Strategic Project (PSN) through Law Number 3 of 2022 concerning the Nusantara<br>Capital City. Behind the ambition to accelerate development, this project has the potential to<br>threaten the existence of the customary rights of indigenous peoples who have inhabited the<br>area for generations, such as the Balik, Paser, and Kutai tribes. This article raises two main<br>problems, namely how to protect the customary rights of indigenous peoples in IKN<br>development projects, and the challenges and obstacles in the implementation of this<br>protection. The purpose of this paper is to analyze the effectiveness of existing regulations and<br>propose solutions to ensure the protection of the rights of indigenous peoples in the context of<br>PSN development. The research method used is normative juridical with a legislative approach<br>and case studies. In normative studies, it reviews legal instruments such as the UUPA, the<br>Forestry Law, and regulations on indigenous peoples that are relevant to the development of<br>the IKN. Case studies show overlapping land claims, weak formal legal recognition of<br>indigenous peoples, and limited participation in decision-making processes. The main obstacle<br>lies in the gap between the country's legal norms and the social realities of indigenous peoples.<br>This article recommends several strategic steps such as strengthening formal recognition<br>through regional regulations, inclusive participatory consultation, and the establishment of<br>protection mechanisms that ensure agrarian justice for indigenous peoples in the development<br>of the IKN.</p>Shandy AuraMuhammad Zaenal Abidin
Copyright (c) 2025 Shandy Aura, Muhammad Zaenal Abidin
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140124125410.58812/shh.v4i01.540Tinjaun Perbedaan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 Atas Royalti (Studi Kasus di PT. PPD)
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/590
<p>Pembayaran royalti termasuk kedalam PPh Pasal 26 atas pemotongan penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri dengan tarif umum 20%(duapuluh persen) Untuk penghindaran pajak berganda pemerintah menetapkan aturan khusus dengan negara mitra yang salah satunya ada Uni Emirat Arab yang menetapkan tarif 5 % bagi WPLN yang memenuhi syarat dalam PER-25/PJ/2018 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Penelitian ini menggunakan metode Deskriptif Analisis dengan Teknik pengumpulan data observasi , wawancara dan kajian literatur. Kesimpulan penelitian bahwa pokok sengketa yaitu terdapat kekeliruan koreksi dari pihak terbanding dengan alasan bahwa PT PDD telah melakukan penyalahgunaan P3B sehingga diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 6, karena itu PT PPD mangajukan banding keberatan perhitungan terbanding dengan penggunaan tarif umum sehingga setelah dilakukan konfirmasi kepada Otoritas Pajak UAE bahwa benar telah sudah dilakukannya pembayaran royalti sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga merupakan transaksi bisnis yang lazim .</p>Yane MayasariFitri NurlaelaWulan Firdawati
Copyright (c) 2025 Yane Mayasari, Fitri Nurlaela, Wulan Firdawati
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140125526610.58812/shh.v4i01.590Tinjauan Yuridis terhadap Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Produk Keuangan Syariah di Indonesia
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/610
<p>Penelitian ini mengkaji perlindungan konsumen dalam transaksi produk keuangan syariah di Indonesia melalui analisis hukum. Pertumbuhan pesat lembaga keuangan syariah telah memperluas akses masyarakat terhadap produk yang sesuai syariah, namun kekhawatiran tetap ada terkait transparansi, akuntabilitas, dan hak-hak konsumen. Dengan pendekatan yuridis normatif, penelitian ini menganalisis peraturan perundang-undangan, fatwa DSN-MUI, dan kerangka hukum untuk menilai kecukupan perlindungan hukum bagi konsumen. Temuan menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah mengembangkan kerangka hukum yang komprehensif—termasuk Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, peraturan OJK, dan Perma No. 14 Tahun 2016—celah implementasi tetap ada. Hal ini meliputi rendahnya literasi konsumen, regulasi yang terfragmentasi, penegakan hukum yang lemah, dan kurangnya kontrak syariah yang standar. Peningkatan harmonisasi hukum, penguatan pengawasan, perluasan pendidikan konsumen, dan promosi penyelesaian sengketa yang mudah diakses merupakan hal esensial untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum. Studi ini berkontribusi pada pembahasan mengenai harmonisasi kebijakan perlindungan konsumen dengan prinsip-prinsip syariah di sektor keuangan Indonesia.</p>Ahmad Burhanuddin
Copyright (c) 2025 Ahmad Burhanuddin
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140126727510.58812/shh.v4i01.610Tinjauan Yuridis terhadap Tanggung Jawab Platform Digital atas Konten Ilegal Menurut Hukum Indonesia
https://sj.eastasouth-institute.com/index.php/shh/article/view/609
<p>Pertumbuhan pesat platform digital di Indonesia telah memudahkan komunikasi, perdagangan, dan berbagi informasi, namun juga mempercepat penyebaran konten ilegal seperti pencemaran nama baik, ujaran kebencian, pornografi, dan pelanggaran hak cipta. Studi ini melakukan tinjauan hukum mengenai tanggung jawab platform digital atas konten ilegal berdasarkan hukum Indonesia. Menggunakan pendekatan yuridis normatif, penelitian ini menganalisis ketentuan undang-undang, mekanisme regulasi, dan interpretasi yudisial, dengan fokus pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019, dan Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2020. Temuan menunjukkan bahwa Indonesia mengadopsi model tanggung jawab bersyarat: platform diwajibkan untuk menghapus konten ilegal atas pemberitahuan pemerintah, namun tetap dapat dituntut pertanggungjawaban dalam kasus kelalaian. Tantangan yang diidentifikasi meliputi definisi yang tidak jelas tentang konten terlarang, hambatan penegakan hukum lintas batas, ancaman terhadap kebebasan berekspresi, dan kapasitas institusional yang terbatas. Wawasan perbandingan dengan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara Asia Tenggara menunjukkan kebutuhan akan pedoman yang lebih jelas, pengawasan independen, dan kewajiban transparansi yang lebih kuat. Studi ini menyimpulkan bahwa meskipun Indonesia telah mengembangkan kerangka hukum dasar, reformasi diperlukan untuk menyeimbangkan regulasi konten dengan perlindungan hak konstitusional dan inovasi digital.</p>Rabith Madah Khulaili Harsya
Copyright (c) 2025 Rabith Madah Khulaili Harsya
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
2025-08-312025-08-3140127628610.58812/shh.v4i01.609